×
Masa Kecil Saya Memandang Balige

    Saya berasal dari desa Sitorang, Silaen. Namun masa kecil saya, saya lahir tahun 1967, memiliki banyak kenangan indah tentang Balige.

    Bagi saya yang masih SD, Balige itu nun jauh di sana. Jarak Silaen ke Balige itu tak terbayangkan jauhnya. Biasanya kami naik ke bukit Dolok Tolong dan orang-orang tua mengatakan Balige terletak di bawah sana.   

    Saya pun sering mendengar kata sibulele yang terkesan ada belalainya. Itu adalah topi pasir dan saya pun belum dapat membayangkan pasir karena belum pernah ke Danau Toba.

    Perkenalan lebih akrab ketika ada kendaraan yang datang ke kampung kami, dari Balige. Setelah itu momen pertama Tahun Baru di Balige. Saya jadi sering ke Balige dengan alasan mamereng motor (melihat mobil). Saya belum pernah melihat mobil secara langsung. Melihat kendaraan yang lewat saja saya sudah bersukacita. Bus-bus zaman itu bernama Bermos, Lumban Jaya, Sayamas, Sibual-buali. Syukur-syukur dapat menyentuh mobilnya, girang bukan main.

    Lalu markapal tu Tarabunga. Sebenarnya tidak sampai ke Tarabunga, hanya dikelilingkan sedikit lalu kembali ke pelabuhan. Bila haus di atas kapal, kami menimba air dari danau, langsung diminum. Alat timba itu pun disediakan oleh kru kapal.

    Waktu itu saya sudah mendengar tugu Sisingamangaraja XII, tugu DI Panjaitan, tugu Sonak Malela. Namun belum pernah melihat, masih hanya mendengar.

    Namun saat Gubernur EWP Tambunan berpidato di stadion Balige, saya ada di sana. Lapangan sudah dipenuhi manusia dan saya tidak dapat merangsek ke kerumunan saking padatnya namun saya berhasil berada persis di bawah podium. Dari bawah saya dapat melihat Gubernur berdiri menjulang mengenakan peci dan di sampingnya terdapat satu ornamen. Dari bawah saya dapat melihat air liurnya muncrat-muncrat saat berpidato. Itu pengalaman yang luar biasa dapat melihat Gubernur yang terkenal jujur waktu itu.

    Di masa SMP, saya mulai tahu bioskop Antara dan Maju di Balige. Seringnya saya menonton di bioskop Antara karena menayangkan film-film silat dan kungfu. Saya kenal bintang film Jacky Chen. David Chiang. Karena sukanya menonton, saya berhemat agar bisa pergi ke Balige untuk menonton sekali tiga bulan. Keluar dari gedung bioskop rasanya saya seorang jagoan silat.

    Lalu saya sakit dan dibawa berobat ke rumah sakit di Balige. Di seberang rumah sakit itu saya melihat bangunan gereja yang megah berhalaman luas. Pohon-pohon pinus berdiri di sekitar. Tidak seperti gereja di kampung, gereja yang saya lihat ini tampak kokoh dan indah seperti bangunan yang saya lihat di foto kalendar.

    Kemudian ompung saya menjenguk, yang entah bagaimana dia dapat membawa saya keluar rumah sakit, dan saya diajak ke pasar Balerong. Di sana ada Rumah Makan Sabas yang menjual sup jajel horbo, Saya makan sup itu, rasanya luar biasa enaknya. Saya juga mendengar parhusissak. Mesin tenun mandar Balige dan saya mendengar marga Sianipar disebut sebagai pemiliknya.

    Ketika itu saya bermimpi bersekolah di Balige. Balige punya sekolah-sekolah yang hebat. Kebanyakan teman-teman di kampung berani bermimpi paling jauh meneruskan sekolah ke Laguboti atau Narumonda di Porsea. Tidak berpikir Balige karena dirasa terlalu jauh.

    Saya mengidolakan Balige sebagai kota pendidikan meski sedikt minder. Balige itu kota, seperti kota Pematangsiantar sekarang Orang-orang kampung kalau akan bepergian ke Balige berkata, lo tu timur. Itu artinya, pergi ke Balige.

    Ketika di SMA, Balige terkena demam film India di bioskop Maju Zaman itu sudah kenal umpasa, talu-talu parjolo monang parpud Saya mulai bersepeda motor, milik orangtua. Saya bermotor ke bioskop, yang di depannya kedai Sabas, sup jagal horbo itu. Di keda itu juga rendangnya enak. Sampai sekarang, kalau saya melintas ke Balige saya usahakan untuk singgah dan makan di sana. Yang istimewa, rasa sup belum berubah meski sekarang yang mengelola adalah keturunan keduanya. Itu sungguh luar biasa. Aroma sup dan indera pengecap saya seperti kembali ke memori puluhan tahun lalu.    

    Saat SMA pun saya mulai maronan meski baru tahap melibat-lihat saja. Di satu sudut onan Balige ada penjual buku dan menyediaka buku-buku untuk masuk ke perguruan tinggi. Saya melihat cewek cewek Balige yang rasanya sangat hebat dan saya tak berani bertegur sapa. Bagi orang Silaen seperti saya, kekayaan orang Balige itu sang berlimpah, berlipat dari kami. Melihat isi toko Bintang Serasi yang berupa peralatan elektronik, saya tidak sanggup membayangkan seberapa besar kekayaan mereka.

    Ada toko roti di simpang jalan menuju ke rumah sakit. Itu semua tidak dapat dibandingkan dengan kekayaan orang tua di kampung. Intinya, Balige ketika itu di benak saya adalah kota yang gemerlap, jauh dari kota yang sekarang ini. Berada di Balige itu seperti saya berada di satu tempat yang jauh.

    Saya seorang yang fanatik kampung halaman. Saya selalu pulang kampung. Saat itulah saya akan melintas kota Balige dan saya pastikan akan singgah untuk minum kopi, makan mi gomak atau tentu saja makan sup horbo par Sabas di sekitar balerong.

×

Notice!!

Ingin diundang ke Balige Writers Festival 2025? Yuk, daftarkan segera dan pastikan kalian sudah membaca dan mengikuti persyaratan nya ya. Pantau terus update informasinya melalui sosial media @baligewritersfest Horas!